Mr Q
4 jam lalu
Ia adalah simbol dari aktor akrobatik politik: memoles realitas pahit menjadi manis.
***
SUARA tertawa terbahak-bahak terdengar dari sebuah ruangan redaksi media nasional. Riuh sekali dan berkepanjangan, diselingi celotehan-celotehan nyinyir, sambil menyaksikan layar kaca besar. Apa yang mereka tertawakan?
Mereka bukan sedang menonton stand up comedy. Tapi, menyaksikan siaran langsung dari Istana Kepresidenan: pelantikan reshuffle kabinet. Apa yang lucu? Ternyata mereka melihat sesosok yang tak asing namun terlihat seperti badut berdasi dan berpeci, yang memaksakan diri tampak berwibawa.
Sosok itu dikenal publik dengan sebutan Mr Q. Julukan yang terkesan keren, seperti tokoh film laga atau agen rahasia, padahal kiprahnya lebih banyak berkutat pada tabel, grafik, dan konferensi pers. Bedanya dengan James Bond, Mr Q tidak membawa pistol peredam, melainkan survei dengan margin of error.
Selama bertahun-tahun, Mr Q menjadi langganan layar kaca. Dengan nada penuh percaya diri, ia membacakan hasil survei seolah-olah sedang mewartakan kitab suci demokrasi. Dari angka elektabilitas hingga tingkat kepuasan publik, semua ia sampaikan dengan bahasa yang kadang terdengar ilmiah, kadang terdengar absurd. Namun, di situlah daya tariknya: absurd tapi penuh keyakinan.
Jejak digitalnya penuh warna, bahkan cenderung kocak. Salah satu yang paling diingat publik adalah ketika ia mengusulkan agar seoarang presiden menjabat tiga periode.
Ide itu dilontarkan dengan wajah serius, padahal publik mendengarnya sambil mengernyit. Ada yang menganggapnya sekadar guyonan kebablasan, ada pula yang menilainya sebagai bentuk penjilatan tingkat dewa. Hasilnya, wacana itu menjadi bahan olok-olok nasional. Yang tak kalah ironis, justru nama Mr Q makin melambung setelahnya.
Melawan Akal Sehat
Reputasinya sebagai pengamat politik “melawan akal sehat” membuatnya selalu tampil menonjol. Ia bisa berkata elektabilitas naik di saat rakyat mengeluh harga minyak goreng. Ia bisa memprediksi koalisi ganjil-genap seperti prediksi cuaca: hari ini berawan, besok mungkin hujan, lusa bisa cerah tergantung arah angin politik. Setiap kali berbicara, publik terbelah antara ingin percaya, ingin tertawa, atau ingin mematikan televisi.
Namun, dunia politik punya logika tersendiri. Di negeri "badutistan" ini, omongan ganjil seringkali justru menjadi tiket emas. Dan, akhirnya, sejarah mencatat: Mr Q masuk ke lingkaran istana sebagai Kepala Staf Kepresidenan. Dari pengamat ia menjadi pelaku. Dari komentator ia menjadi pengendali birokrasi. Dari orang yang biasa memprediksi kekuasaan, ia kini ikut merasakan empuknya kursi kekuasaan.
Ironinya jelas terasa. Jika dulu ia sibuk mengutak-atik margin of error, kini ia harus mengurus margin anggaran. Jika dulu ia berteori tentang tren elektabilitas, kini ia mesti memastikan kursi rapat terisi penuh. Transformasi ini mengingatkan pada seorang pesulap jalanan yang tiba-tiba dipercaya mengatur panggung pertunjukan negara.
Publik pun ramai bersuara. Ada yang menyebut penunjukan ini sebagai penghargaan atas kreativitasnya mengolah angka. Ada pula yang sinis: inilah bukti survei bukan lagi alat prediksi, melainkan jalur promosi. Netizen menertawakan kemungkinan bahwa setiap grafik elektabilitas yang ia presentasikan kini otomatis menjadi memo internal untuk presiden: “Pak, tugas kita tinggal menyesuaikan kenyataan dengan survei, bukan sebaliknya.”
Simbol Politik Akrobatik
Apa sesungguhnya keahlian Mr Q? Pertanyaan itu tak mudah dijawab. Ia bukan sepenuhnya akademisi, bukan pula sekadar konsultan politik. Ia lebih tepat disebut sebagai simbol dari politik kita: cair, lentur, bahkan akrobatik. Politik yang tidak selalu mencari kebenaran, tapi mencari kenyamanan. Politik yang bisa menjadikan “mustahil” sebagai “kenapa tidak?”
Dan, Mr Q adalah maestro dari gaya itu. Ia bagaikan dalang yang mampu membuat angka-angka menari sesuai alunan gamelan kuasa. Ia tahu kapan harus mengangkat grafik, kapan menurunkannya, kapan pula pura-pura bingung agar kamera televisi tetap menyorot. Kini, dengan posisi barunya, ia punya panggung megah dan mikrofon resmi.
Apakah rakyat harus resah? Belum tentu. Sebab di tangan Mr Q, realitas bisa dipoles jadi lebih manis. Harga sembako naik? Bisa jadi itu tanda kepercayaan rakyat juga naik. Indeks demokrasi turun? Jangan khawatir, itu sekadar rakyat butuh rehat dari terlalu banyak kebebasan. Semua bisa dijelaskan, asal tabelnya disiapkan.

Penulis Indonesiana l Veteran Jurnalis
4 Pengikut

Mr Q
4 jam lalu
Agama, Bola, dan Problem Sosial Generasi Z
5 hari laluBaca Juga
Artikel Terpopuler